Layaknya anak kecil yang sedang senangnya belajar bersepeda. Tak akan merasa sakit sewaktu pedal menghantam kaki. Betis penuh oli rantai. Sandal tipis akibat tak lihai menekan rem. Semua berproses. Ngebut dan mampu mengemudikan stang sepeda itu realisasinya.

Hal yang sama saya alami. Namun berbeda kegiatan. Masa pandemi membuat saya bisa menulis. Menulis bukan sembarang menulis. Menulis dengan alur dan konsisten. Banyak proses yang harus dilalui. Dikala tak mau memulai. Perlu fokus yang tinggi untuk mewujudkan niat. Writer’s block membuat diri makin gulana. Tak ada kata-kata yang singgah dalam otak. Inilah derita bagi penulis pemula.

Ibarat sakit pasti ada obat penawarnya. Begitu juga masalah yang saya alami saat menjadi penulis pemula. Tergabung dalam komunitas menulis membuat rasa gulana hilang. Segala motivasi diberikan untuk membangun diri. Blog walking menjadi salah satu penawarnya. Menjelajah tempat yang tak saya tau hanya dengan tulisan teman dari berbagai daerah.

Bahagia rasanya bisa menulis. Walaupun pas-pasan tetap harus disyukuri. Berkat nara sumber yang mumpuni otak ini tak seperti bawang kosong. Berlatih menulis itu ramuan mujarabnya. Menulis saja apa yang ada di pikiran itu resepnya. Konsisten itu belum sempurna buat saya. Belum bisa menulis setiap hari.

Bergabung menulis di antologi merupakan kesempatan mengukir sejarah dalam menulis. Ingin dikenang ya lewat tulisan. Catatlah sejarahmu dengan karyamu. Menulislah sedini mungkin. Kesempatan ini pun tak saya lewatkan. Bergabung dalam beberapa antologi melatih diri lebih percaya diri akan hasil tulisan. Bahagia sewaktu menulis profil penulis. Seolah-olah melegalitaskan hasil karya sendiri. Mungkin ini perasaan yang lumrah dialami penulis pemula. Naskah siap dikirim dan akan diedit dan dipoles menjadi lebih cantik.

Bahagia 3/4 itu perasaan saya saat ini. Sewaktu semua naskah sudah dikirim. Di cover buku terlihat nama saya. Hati kecil bersorak riang. Menunggu buku tercetak dan siap ditangan saya itu yang dinanti.